Latest News

Wednesday, August 2, 2017

Memanggil Para Penuai

Dalam pengalaman melayani umat, sangat sulit untuk mencari umat yang mau mengajukan diri menjadi katekis atau prodiakon atau ketua wilayah atau ketua seksi. Sering kali akhirnya kita mendapatkan orang-orang yang  �terpaksa� untuk menempati posisi itu. Makin lama umat lainnya merasa bahwa pelayanan adalah beban, pelayanan tidak lagi ada sukacitanya, dan makin menjauh dari gereja karena takut disuruh melayani.


Bagaimana kita dapat mendorong orang melayani tanpa menjadikannya suatu beban, tapi malahan memampukannya melampaui dirinya sendiri yang status quo? Dari beberapa pengalaman yang saya lihat, orang yang mendorong orang lain untuk melayani, mari kita sebut dia pemohon, sering kali memaksakan si calon pelayan untuk melayani. Beberapa permintaan disertai dengan ancaman: �kamu sudah diberikan banyak berkat masa masih gak mau melayani.� Ini seakan-akan mengindikasikan berkat yang telah diberikan akan diangkat ketika tidak melayani. Ada yang disertai dengan penyepelean persoalan: �Cuma posisi gitu aja kok.�

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan ini semua, karena kadang-kadang semua ini diperlukan untuk mendorong orang untuk melangkah keluar dari zona nyaman mereka. Tapi tidak selamanya ini akan berhasil ketika sumber permasalahan calon pelayan tidak lebih dulu diidentifikasi. Hasilnya, dorongan itu menjadi tidak efektif.

Ada 5 golongan reaksi ketika calon pelayan menerima permohonan pelayanan pertama kali: �Mau banget�, �Mau aja�, �Netral�, �Menolak�, dan �Menolak keras.� Kelimanya dapat dilihat pada tabel. Sebagian besar calon pelayan akan berada pada 3 reaksi yang di tengah, yaitu menolak, netral dan mau aja. Solusinya lebih kepada bagaimana si pemohon menjelaskan dan memotivasi calon pelayan saja. Sementara yang mau banget juga tentunya tidak sulit untuk diajak, walaupun harus mewaspadai adanya kemungkinan ambisi yang besar yang akhirnya akan menjadi konflik bagi kerjasama dengan pelayan lainnya.

Namun lebih sulit adalah ketika kita menemukan calon pelayan yang menolak keras. Untuk umat yang menolak keras, kita perlu memahami sumber penolakan  yang secara singkat dapat disebut konflik. Konflik waktu, yaitu bahwa ia terlalu sibuk di tempat lain dan akan memiliki konflik dengan waktu pelayanannya. Konflik keluarga, bahwa di dalam keluarganya masih ada konflik yang tak dapat diselesaikan dan akan terbawa kepada pelayanannya. Konflik di antara pelayan, yaitu ketika pengalaman pelayanannya yang dahulu terjadi konflik dengan teman pelayannya, dan  ini membuatnya enggan kembali melayani.

Apapun konflik yang dihadapinya, pemohon pelayan harus memahami bahwa tidak seorangpun yang mampu untuk membuatnya keluar dari konflik tersebut kecuali dirinya sendiri. Kita bisa memberikan alternatif solusi, sharing pengalaman dan sebagainya. Tapi solusi konflik adalah khas pada setiap situasi yang dihadapi dan kepribadian yang dimiliki para pihak yang berkonflik. Tidak ada solusi umum yang dapat digunakan di setiap konflik.

Bagaimana kita membantunya untuk memecahkan konflik? Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk orang-orang yang menolak keras:
1.       Mengurai simpul. Konflik-konflik kecil yang berturut-turut sering kali membuat perasaan yang tidak menentu dan tidak jelas. Agustinus yang tidak dapat mengatur waktunya di rumah, di kantor dan bermain menjadi sering mendapat hukuman karena tidak melaksanakan pekerjaannya. Ini membuat dia merasa bahwa ia memiliki konflik waktu sehingga tidak dapat melakukan pelayanan dengan baik. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengatur waktu dengan baik. Bernardus pernah sakit hati karena kata-kata orang di gereja. Ia merasa enggan melayani karena ia tidak nyaman dengan gereja karenanya, tapi tidak tahu kenapa. Pertanyaan yang harus digali adalah apa yang membuatnya sakit hati dan kepada siapa.

Apabila karena kepribadiannya atau ketidakpercayaannya dengan  si pemohon pelayanan, calon tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka informasi dapat diperoleh dari orang-orang di sekitarnya, termasuk ketua lingkungan atau teman baiknya. Melalui penyelidikan ini pemohon dapat mengetahui dengan lebih baik apa yang menjadi keberatan dari si calon pelayan.

2.       Memberikan tantangan. Setelah menemukan simpul-simpul konflik, kita perlu menunjukkan bahwa penting baginya memecahkan konflik itu. Pemecahan itu dapat berupa pengaturan waktu yang lebih baik, pengampunan terhadap seseorang, pengaturan uang, pendamaian dalam keluarga. Tantangan perlu diberikan secara eksplisit dan jelas. Artinya tidak dalam bentuk sindiran atau ironi atau analogi.

Dalam tahap ini dapat pula diberikan gambaran apa yang bisa dilakukan oleh si calon untuk menghadapi tantangan itu, misalnya berupa sharing pengalaman dari si pemohon atau lainnya. Berikan pula pengertian bahwa tantangan ini adalah seperti ujian naik kelas yang harus dilewati, dimana setelahnya, si calon akan lebih kuat dan bijaksana.  

3.       Memberikan waktu dan pendampingan. Melewati tantangan membutuhkan waktu. Waktu untuk mempersiapkan mental, waktu untuk menghadapi tantangan itu sendiri, dan waktu untuk berefleksi mengumpulkan energi. Pada tahap ini perlu pula si pemohon menyediakan pendampingan secukupnya, baik dari sapaan, waktu dan apapun yang mungkin dibutuhkan oleh si calon ketika menghadapi tantangan tersebut.

Pada tahap ini paksaan tidak efektif. Sering kali pemohon  karena keterbatasan waktu, memaksa agar si calon menerima duluan. Akan tetapi ini menjadi tidak efektif dan akan menjadi beban pelayanan, serta berpotensi menciptakan konflik di masa depan. Oleh sebab itu pada tahap ini perlu disadari bahwa untuk menciptakan motivasi yang sesungguhnya, diperlukan situasi yang bebas, di mana si calon dapat memilih untuk menunggu, menyetujui dan bahkan menolak untuk melayani. Tahap ini paling sulit bagi si pemohon.... akan tetapi sangat berguna bagi si calon untuk menemukan dirinya sendiri serta semangatnya.

Mungkin pada tahap ini, ada suatu nasihat ataupun doa yang dapat digunakan oleh si pemohon:

God, grant me 
the serenity to accept the things I cannot change,  
the courage to change the things I can
and the wisdom to know the difference

Tuhan, berikan aku
keikhlasan untuk menerima apa yang tak bisa kuubah
keberanian untuk mengubah apa yang bisa kuubah
dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya

Semoga dengan menerapkan hal ini, kita dapat menarik lebih banyak umat menjadi pelayan yang tulus dan penuh sukacita. 

No comments:

Post a Comment

Tags