Latest News

Thursday, August 3, 2017

Iman Kristiani di Dalam Budaya

Kristiani sering kali disamakan dengan budaya Barat. Pengantin Kristen berpakaian putih. Orang Kristen minum anggur (wine). Pakaian orang Kristen jas dan dasi. Rock n Roll itu Kristen. Orang Kristen yang sakit harus dibawa ke kedokteran ala Barat. Anak-anak Kristen harus masuk pendidikan ala Barat.


Itu semua tidak benar. Kalau kita melihat di berbagai tempat di Indonesia, banyak orang Kristen tidak dapat dibedakan secara kasat mata dengan orang-orang lainnya di budaya yang sama. Percaya Yesus tidak sama dengan percaya bahwa semua yang berasal dari Barat adalah baik. Bahwa kebetulan itu ada lebih dikarenakan agama Kristen dibawa oleh saudara-saudara dari Barat (Portugis, Belanda dan Inggris).

Yesus, yang ajaranNya dilanjutkan oleh para rasulNya dan gerejaNya yang satu, kudus, katolik dan apostolik, tidak mengajarkan bahwa budaya Yahudi adalah yang terbenar. Tapi bahwa Yesus adalah orang Yahudi dan karenanya caraNya mengajar dipengaruhi oleh bagaimana orang Yahudi berpikir, itu benar. Kalau tidak bagaimana kita dapat mengajar dengan efektif ketika kita tidak masuk kepada dunia berpikir murid-murid kita?

Contoh yang paling mudah adalah ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria. Orang Samaria beribadah di Gunung Gerizim, sementara orang Yahudi beribadah di Yerusalem. Namun Yesus tidak mempermasalahkan hal tersebut, bahkan Ia berkata bahwa kita akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran. Sementara contoh yang termudah dari bagaimana Gereja Perdana meneruskan hal tersebut adalah tentang masalah sunat. Sunat adalah budaya khas Israel yang tidak diikuti oleh orang-orang Kristen non Yahudi di masa itu, walaupun Yesus pasti bersunat.

Sejak jaman konsili Vatikan II kita melihat bahwa Gereja Katolik Roma makin melebarkan pandangannya dalam hal budaya. Gereja Katolik makin menerima bahwa budaya-budaya di seluruh dunia hadir sebagai persiapan atas datangnya iman Kristiani. Budaya-budaya itu memang tidak sempurna, tapi tidak dilihat sebagai suatu kejahatan. Hal ini tertuang dalam dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral Gereja di Dunia Dewasa Ini): �Sebab Allah, yang mewahyukan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.� Dari pernyataan ini jelas bahwa Gereja Katolik menganggap budaya-budaya yang ada mengandung pewahyuan Allah.

Lebih jauh Nostra Aetate (Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani) menyatakan: �Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini diantara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan  terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama, yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah dalam hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha filsafah yang mendalam.�

Dari sini tampak bahwa iman pada Yesus mengatasi budaya. Orang Kristiani harus dapat menyesuaikan diri pada budaya tempat ia hidup, sekaligus mengubah budaya itu menjadi sumber dan lahan pewartaan iman yang subur.

Di Indonesia kita memiliki seorang tokoh yang sudah memahami hal ini luar dalam. Dia adalah Uskup Soegijapranata yang terkenal dengan kata-katanya: �100% Katolik, 100% Indonesia.�


Saya merefleksikan ini di dalam kebudayaan tanah Tapanuli. Disana rumah-rumah memiliki pintu yang pendek sehingga semua orang harus membungkuk untuk masuk ke dalamnya. Falsafah yang saya tangkap dari pemandu saya waktu itu adalah: �Seorang Raja pun harus membungkuk ketika masuk ke dalam rumah.� Ini sangatlah tepat pada konteks iman dan budaya, di mana Raja Yesus pun akan membungkuk kepada budaya di mana Ia tinggal, akan tetapi toh Dia tetap raja. Demikian pula kita sebagai murid-muridNya, kita harus menghormati budaya di mana kita tinggal dan orang-orang yang menganut budaya itu. Tapi toh kita tidak boleh terlena dengan budaya, melainkan terus mengubah budaya tersebut menjadi iman yang sempurna pada Yesus. 

No comments:

Post a Comment

Tags