Latest News

Tuesday, September 11, 2018

Liturgi yang Menyatukan: Inkulturasi atau Interkulturasi?


EXCERPT SEMINAR KATEKESE LITURGI
�LITURGI EKARISTI YANG MENYATUKAN�
Aula Petrus, Gereja Kristus Salvator
9 September 2018, pk. 11.00 � 13.30



MC (Katarina Widyaningrum)
Inkulturasi adalah istilah yang dipakai pertama kali pada tahun 1973 oleh G.L. Barney dalam bidang missiologi, misi nilai-nilai injil mengatasi kultur untuk diwartakan di budaya setempat sehingga terbentuk budaya baru yang bersifat Kristen.

Istilah ini secara khusus dipakai di bidang katekese pada tahun 1975. Santo Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai budaya ke dalam kehidupan gereja. Pemakaian istilah inkulturasi di bidang liturgi sendiri mulai disebarluaskan pada tahun 1979.


Liturgi adalah perayaan pertemuan antara Allah dan manusia, serta di antara anggota persekutuan yang dipersatukan Allah dalam Ekaristi. Dokumen Liturgi tentang Inkulturasi menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan dapat diterima gereja dengan sangat hati-hati agar tidak melanggar norma-norma liturgi, karena pelanggaran norma liturgi dapat membawa kita pada dosa sakrilegi, yaitu melecehkan sesuatu yang sakral.  

Moderator (Rowena Suryobroto)
Apa sih yang akan dibahas di dalam Seminar yang berjudul Liturgi  Ekaristi yang Menyatukan ini.

Kita mengetahui bahwa Dokumen Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebusan) menyatakan bahwa Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yaitu Tahta Apostolik, dan menurut kaidah hukum, pada Uskup. Tahta Apostoliklah yang berwenang mengatur liturgi suci seluruh Gereja, menerbitkan buku-buku liturgi serta memberikan recognitio terjemahannya ke dalam bahasa-bahasa pribumi, dan juga mengawasi agar di mana pun peraturan-peraturan liturgi, khususnya yang menyangkut perayaaan Kurban Misa yang begitu agung, ditepati dengan setia.

Di pihak lain kita juga mendengar bahwa Konsili Vatikan II membuka ruang bagi keberagaman. Konstitusi Liturgi Suci (Sacrosanctum Concillium) menyatakan: Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku dalam liturgi. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan yang tidak secara mutlak terikat pada tahayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli.

Di dalam konteks Indonesia yang sangat beragam ini tentunya kedua ekstrem ini tidaklah mudah untuk dicarikan jalan tengahnya. Pada beberapa kasus benturan yang terjadi bukan berujung pada suatu sintesis melainkan kepada perpecahan umat. Lebih buruk lagi apabila kondisi yang berkepanjangan membuat banyak umat menjadi apatis terhadap liturgi itu sendiri.

Oleh karena itu di sini ada Rm Harimanto, yang kita harapkan dapat membuka wawasan kita kepada Liturgi Ekaristi yang tetap setia pada hakekat semangat liturgi yang sejati, namun juga membuka ruang pada keanekaragaman tradisi yang kita miliki. Mari kita mengundang Rm.Harimanto untuk ke depan.

Rm. Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC menerima sakramen imamat dan ditahbiskan menjadi imam Ordo Salib Suci (OSC) tahun 1993, 25 tahun yang lalu. Beliau saat ini menjabat Direktur ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) di Bandung yang tiap tahun secara rutin mengadakan kursus-kursus Liturgi dengan tema-tema  menarik yang dapat dilihat di sampul belakang Majalah Liturgi. Selain itu beliau juga adalah dosen liturgi dan Dekan Fakultas Filsafat Unika Parahyangan Bandung, anggota ahli di Komisi Liturgi KWI, serta pengisi setia kolom liturgi di Majalah Hidup. Tidak heran beliau begitu akrab dengan lingkungan liturgi, karena beliau mengambil S2 di bidang Liturgi di bidang Liturgi di Pontificio Institutio Liturgico Sant' Anselmo, Roma, universitas yang paling terkenal untuk bidang liturgi. Salah satu buku yang telah beliau terbitkan berjudul �Lakukanlah Ini: Sekitar Misa Kita� yang merupakan tanya jawab praktis tentang langkah-langkah dalam Misa.

Sebagai tambahan, Seminar ini juga diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan gerakan Misa Inkulturatif yang sesuai dengan liturgi Gereja Katolik yang satu dan benar, namun tetap dinamis untuk mengikuti perkembangan zaman sekaligus mempertahankan budaya-budaya yang diyakini adalah benih bagi penerimaan Yesus Kristus di dalam hati umat. Tindak lanjut dari Seminar ini adalah dilaksanakannya Misa Inkulturatif pada Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2018 di Gereja Kristus Salvator.

Dengan tidak panjang lebar lagi, waktu dan tempat kami berikan kepada Rm. Harimanto.

-------------------
Pembicara (RP Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC)
Kita sering berbicara tentang Misa Inkulturasi. Tapi apakah cocok di kota besar ini, dengan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda, kita melakukan inkulturasi. Jangan-jangan kita harus melakukan interkulturasi. Apa bedanya. Kita akan lihat.

Liturgi dan Budaya
Makna kata Liturgi. Asal kata liturgi adalah dari bahasa Yunani yaitu leit � ourgia. Leit / laos artinya bangsa, rakyat, umat. Ourgia / ergon artinya karya, kerja, aksi, tindakan. Jadi pada hakikatnya liturgi adalah:
         tindakan (kegiatan manusia: raga, jiwa, sukma)
         bersama (oleh Gereja, umat Allah, bersama Kristus, Sang Kepala = Tubuh Mistik Kristus)
         suci (karena berdialog dengan Allah)
         simbolis (menggunakan tanda-tanda lahiriah)
         resmi (dalam rangka unitas dan universalitas Gereja Katolik Roma)    MENYATUKAN !

Sementara itu apa arti kata Budaya/ Kultur? Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata budaya berarti 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3. sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sementara Culture dalam Collins Cobuild E. L. Dictionary didefinisikan sebagai 1. consists of the ideas, customs, and art that are produced or shared by a particular society (terdiri atas ide, kebiasaan dan seni yang diproduksi dan dimiliki bersama oleh suatu masyarakat tertentu); 2. a particular society or civilization, especially one considered in relation to its ideas, its art, or its way of life (suatu masyarakat atau peradaban tertentu, terhubung dengan ide, seni dan cara hidup); 3. the intellectual and artistic aspects of a society (aspek intelek dan artistik dari suatu masyarakat).

Sementara itu budaya dalam Gaudium et Spes no. 53 adalah �Pada umumnya dengan istilah �kebudayaan� dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya�. Oleh karena itu mau tak mau kebudayaan manusia mencakup dimensi historis dan sosial, dan istilah �kebudayaan� seringkali mengandung arti sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang berbicara tentang kemacam-ragaman kebudayaan.�


Ada 3 komponen budaya (dan liturgi)
1.       Values (nilai-nilai): prinsip yang mempengaruhi dan memberi arah bagi hidup dan aktivitas suatu komunitas (: dalam hal hospitalitas [: menyambut, menghibur], hidup keluarga/semangat komunitas [: pertemuan, pesta], kepemimpinan [: jabatan, gelar, relasi timbal balik).
2.       Institutions (pranata, kebiasaan, sistem tingkah laku/adat istiadat): praktek tradisional masyarakat yg merayakan fase-fase kehidupan, pergantian musim, even sosial-politik [: inisiasi, perkawinan].
3.       Cultural patterns (pola budaya sebagai penampilan identitas): cara berpikir atau cara membentuk konsep, ungkapkan pemikiran melalui bahasa, ritual, seni  [: cara menyambut, cara berpisah, cara menjamu makan]. Pola kultural memberi bentuk luaran bagi values dan institutions.

Ketiganya tidak terpisahkan, dan perlu dipertimbangkan di dalam melaksanakan suatu inkulturasi.

Beberapa Definisi
Ada beberapa istilah yang sempat dipakai untuk menggambarkan pertemuan antara kebudayaan dan liturgi.
1.       Indigenization (1970-an, D.S. Amalorpavadass: dari indigenuous (pribumi) > Indianisasi: Ada 3 tahap: [a] ciptakan setting India untuk ibadat dengan perkenalkan tata gerak, bentuk penghor-matan, benda suci, hening; [b] terjemahan yang memadai dan cipta lagu liturgis baru; [c] tempat-kan buku suci India, khususnya Rig Veda, dalam Liturgi Sabda.      Problem: tak mungkin, jadi pribumi di tanah asing? Murni pribumi tanpa pengaruh budaya lain?)
2.       Contextualization (1972, World Council of Churches: hidup dan misi Gereja perlu menjadi relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer di sekitarnya. Konteks hidup Gereja mencakup pergulatan kebebasan politik, ekonomi, budaya; disukai Teologi Pembebasan. Konsep perjuangan demi keadilan-sosial memasuki liturgi, dalam bahasa dan simbol lain. Konteks adalah ekspresi vibran dari kebudayaan manusia.)
3.       Revision (1963, Konsili Vatikan II, Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC): buku liturgis Latin perlu direvisi [dari praktek pra-Konsili Vatikan II/Tridentin] supaya hakikat dan tujuan ritusnya menjadi lebih jelas. SC 34: Revisi itu hendaknya sederhana namun anggun, singkat, jelas, tanpa pengulangan yang tak berguna; selaras dengan daya tangkap umat dan tidak membutuhkan penjelasan [corak klasik: sobrietas romana = kesederhanaan Romawi!].)
4.       Adaptation (Istilah resmi, khususnya dalam SC, art. 37-40:  sinonim antara aptatio dan accomodatio, beda: adaptasi jadi wewenang Konferensi Para Uskup (Komlit), akomodasi jadi wewenang pemimpin/pelayan liturgi, temporer. Adaptasi adalah program umum Gereja untuk memperbarui atau updating/ aggiornamento. Cara mencapai program itu? Lewat revisi dan adaptasi dengan kebutuhan zaman. Adaptasi adalah program umum pembaruan, sementara inkulturasi liturgi adalah salah satu cara untuk mencapainya.)
5.       Acculturation  (istilah dalam ilmu budaya: cukup lama diartikan sama dengan inkulturasi, namun sebenarnya berbeda.  A. Shorter: �pertemuan antara satu budaya dengan budaya lain, atau pertemuan antara dua budaya� (juxtaposition), dengan dasar �saling menghormati dan toleransi�, baru tahap dasar eksternal, kontak luaran. Maka, akulturasi adalah syarat penting untuk inkulturasi. Rumus akulturasi: A + B = AB, inkulturasi: A + B = C. Contoh baik akulturasi dalam liturgi: periode barok, tak masuki dan ganggu misa Trente; contoh keliru: gejala kini, misa ~ drama, nonton film, rosario!)
6.       Inculturation (1962, J. Masson, teolog Prancis dan 1973, G.L. Barney, misionaris Protestan dari New York, AS = inculturate; 1975, Sidang Umum Yesuit ke-32: dari enculturation [= sosialisasi, proses pembelajaran di mana seseorang masuk dalam budayanya], karena bahasa Latin tak ada awalan en- maka dipilih in-, jadilah inculturatio. Dengan bergeser, maka maknanya pun berubah dalam pemakaian teologis, liturgis, misiologis;  
         1979, Yohanes Paulus II perkenalkan ke dalam dokumen resmi Gereja [�salah satu untur misteri inkarnasi�];
         1979, C. Valenziano, profesor PIL Roma, menggunakannya dalam kaitan dengan liturgi: �sebagai metode yang dapat memberi interaksi timbal balik antara liturgi dengan berbagai bentuk kesalehan umat�. A. Shorter: �relasi kreatif dan dinamis antara pesan kristiani dengan satu atau beberapa budaya�;
         1985, Sinode Luar Biasa, deklarasi 4: �tak hanya adaptasi eksternal, tapi transformasi interior dari nilai-nilai kultural otentik melalui integrasi mereka ke dalam Kristianitas dan pengakaran Kristianitas dalam berbagai budaya manusia�.)
7.       Incarnation (1965, Konsili Vatikan II, Dekrit Ad Gentes art. 22: adaptasi sebagai inkarnasi, Yesus Kristus lahir sebagai orang Yahudi, inkarnasi Gereja lokal mengacu pada inkarnasi Yesus. Inkarnasi Yesus sbg model historis. �Inkarnasi� Gereja sbg realisasi berkelanjutan dari paradigma itu. Lebih tepat sebagai dasar teologis daripada sinonim untuk adaptasi liturgis. Liturgi tak hanya diadaptasikan tapi juga  diinkarnasikan! Bersatu  dengan tradisi dan budaya Gereja lokal.)
8.       Interculturation ([mengacu pada Edmund S dan Christine Glen] dalam perayaan liturgis yang sama terdapat perpaduan ciri khas budaya dari beberapa kelompok pendukung yang berbeda. Ada komunikasi iman di antara beragam kelompok peraya dengan cara ekspresi berbeda berdasarkan kekhasan budaya masing-masing. Jadi, tak hanya ada perpaduan antara dua budaya [Romawi dan satu budaya setempat = inkulturasi]. Biasanya terjadi di kota besar/metropolitan. Bisa kita sebut dengan liturgi �ragam budaya� ? menggunakan metode inkulturasi liturgi.)

Dalam Pedoman Umum Misale Romawi bab 9 digunakan istilah:
         Adaptasi (aptatio, penyerasian)
         Akomodasi (accomodatio, penyesuaian)
         Inkulturasi (inculturatio)



Jadi apa itu Inkulturasi Liturgi?
Inkulturasi Liturgi  adalah suatu proses yang mengintegrasikan unsur-unsur yang relevan dari budaya lokal ke dalam liturgi Gereja lokal.
1.       Integrasi = budaya lokal mempengaruhi cara doa-doa disusun atau dibawakan, bagaimana ritual dilakukan, dan bagaimana pesannya diungkapkan melalui bentuk-bentuk kesenian dalam liturgi.
2.       Integrasi = ritus, simbol, atau pesta dari budaya lokal dijadikan bagian dari liturgi Gereja lokal setelah ditilik secara kritis dan ditafsirkan dalam cahaya ajaran kristiani.

Ingat, inkulturasi adalah suatu �proses�, bukan karya yang sekali jadi. Masih perlu ditindaklanjuti melalui kritik dan evaluasi. Suatu upaya yang tidak begitu mudah. Kalau dilakukan secara terburu-buru dan kurang  hati-hati  tradisi liturgi yang  otentik akan tercemar  (PUMR 398).

Inkulturasi liturgi adalah liturgi Gereja lokal, tapi selalu mempertahankan dimensi universal karena isi atau makna esensialnya. Inkulit itu tidak aneh bagi bangsa, umat, atau pribadi lain di luar Gereja lokal itu. Masih bisa dikenali dan diakui oleh Gereja-gereja lain sebagai suatu bentuk otentik peribadatan Kristiani. Bagi Gereja universal, inkulturasi liturgi berarti keragaman dalam ekspresi dan kesatuan dalam iman dan tradisi Kristiani.

Pandangan Gereja tentang Inkulturasi
Liturgi harus menghargai budaya, namun sekaligus mengajak budaya itu untuk dibersihkan dan disucikan dalam iman Gereja. Pertama-tama, orang Kristen dari suku dan budaya apa pun harus menerima Alkitab Perjanjian Lama dan Baru sebagai Sabda Allah. Itu bagian dari imannya. Liturgi atau tanda-tanda sakramental yang mereka sambut hanya dapat dimengerti secara penuh dalam konteks Kitab Suci dan kehidupan Gereja.

Lalu, hakikat liturgi jangan  dilupakan. Liturgi adalah tempat pertemuan orang Kristen dengan Allah dan Kristus. Sekaligus, liturgi  adalah karya Kristus sebagai Sang Imam-Kepala  dan Gereja sebagaiTubuh-Nya. Di situ terjadi pemuliaan Allah dan pengudusan manusia. Dalam liturgi, Gereja mengungkapkan imannya secara simbolis dan bersama.

Untuk itulah diperlukan norma-norma dasar tentang liturgi. Peraturan diperlukan untuk menjamin kebenaran iman. Artinya, untuk menghindarkan kesalahan dan sekaligus untuk mewariskan iman secara utuh sehingga hukum doa (lex orandi) tetap selaras dengan hukum iman (lex credendi).

Prasyarat Inkulturasi
Harus dilihat dulu situasi tempat Gereja lokal berada. Ada Gereja yang mayoritas atau minoritas di tengah masyarakat. Ada pula yang berada di tengah masyarakat yang berbahasa dan budaya majemuk. Masing-masing punya tantangannya sendiri ketika berhadapan dengan budaya sekitarnya.

Lalu, perlulah dicari orang-orang yang kompeten  baik  dalam tradisi liturgi Romawi maupun apresisasi budaya lokal. Mereka diajak mempelajari sejarah dan makna  liturginya, antropologi, eksegese, dan teologi. Bahkan, pengalaman pastoral imam/klerus pribumi setempat amat penting peranannya.

Konferensi para  Uskup sebenarnya  harus menaungi seluruh proses ini.   Para uskup sebagai  penggerak (promotor), pengatur (moderator),  pengawas (custos)  kehidupan liturgi di keuskupannya masing-masing (PUMR 387).

Tujuan Inkulturasi Liturgi
Tujuannya sama dengan yang dimaksud Konsili Vatikan II untuk pembaruan liturgi pada umumnya. Bukan asal tercipta ritus baru, tapi untuk  menjawab kebutuhan  Gereja dalam kaitan  dengan budaya  tertentu.
         Tujuan utama: untuk membantu mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan dalam liturgi secara lebih jelas, sehingga dapat mudah dipahami umat, dan mereka dapat mengambil bagian secara penuh dan aktif.
         Tujuan jangka pendek: untuk menciptakan bentuk ibadat yang secara kultural sesuai dengan umat lokal, sehingga mereka dapat menganggapnya sebagai milik sendiri.


Prinsip Teologis Liturgi
1.       Pelaksanaan tugas imamat Yesus: anamnesis dan epiklesis;
2.       Perayaan komunal yang menampilkan Gereja sebagai komunitas hirarkis: pelayan dan struktur;
3.       Puncak dan sumber seluruh kegiatan Gereja: seia dan sekata antara liturgi dan kegiatan lain dalam Gereja;
4.       Partisipasi umat yang aktif, sadar, dan berbuah: tujuan yang terutama, tak mengabaikan adanya keragaman tugas pelayanan;
5.       Merawat tradisi dan terbuka pada kemajuan: penelitian yang cermat secara teologis, historis, pastoral;
6.       Allah berbicara dan Kristus masih mewartakan Injil-Nya: harus gunakan Kitab Suci sendiri, bukan teks lain; tipologi biblis utk unsur budaya lain.

Rambu-rambu Inkulturasi Liturgi
         Sebagai ungkapan iman dan hidup kristiani, jangan sampai inkulit itu berbau atau tampak seperti sinkretisme agama. Misalnya, dengan mengganti bacaan Kitab Suci kristiani dengan bacaan Kitab Suci agama lain. Doa, benda simbolis, busana, tata gerak, atau nyanyian dipinjam begitu saja dari budaya lokal tanpa tahu asal-usul dan fungsinya, tanpa di-kristen-kan dulu.
         Harap dihindari juga munculnya makna ganda dari unsur budaya yang dipakai.
         Yang lebih tegas lagi: sama sekali dilarang memasukkan ritus magis, takhayul, spiritisme, dan ritual yang berkonotasi seksual.
         Perlu dipertimbangkan pula bila ada risiko pemisahan diri jemaat kristiani dari masyarakatnya.
         Juga, perlu diwaspadai kemungkinan inkulturasi digunakan untuk tujuan politik.

Apa yang dapat digarap sebagai awal Inkulturasi Liturgi?
Misalnya: bahasa, musik-nyanyian, tata gerak-tarian, dan unsur kesenian lain (busana, peranti, perabot, arsitektur)  yang dapat membantu umat berliturgi, berdoa bersama kepada Tuhan.
Khususnya dalam ritus inisiasi, perkawinan, dan pemakaman kristiani bahkan boleh dipakai yang sesuai dengan adat setempat. Untuk Misa atau perayaan Ekaristi memang agak terbatas.

Tahapan Metodologi:
1.       Fokuskan pada teks/ritual dari buku resmi terbitan Vatikan/ET (= Editio Typica) atau terjemahan resminya;
2.       Pilih bagian yang memungkinkan untuk digarap, lalu telusuri sejarah, teologi, struktur, unsur fundamental, dan latar belakangnya;
3.       Identifikasi nilai, pranata (tata cara), pola (elemen-elemen kultural) yang ada pada unsur ET itu;
4.       Bandingkan yang terkandung dalam ET dengan Kultur komunitas lokal, cari kemiripan dan perbedaannya;
5.       Ungkapkan kembali titik temu antara ET dengan Kultur dalam bentuk liturgi �baru�, yang sesuai dan selaras. Pertimbangkan juga: kritik doktrinal dan moral, tipologi biblis, keuntungan pastoral dan spiritualnya;
6.       Perlu sosialisasi (diajarkan, dijelaskan, dilatihkan) pada umat sebelum dipraktikkan;
7.       Praktik, perayaan inkulit eksperimen;
8.       Ada evaluasi setelah praktik beserta upaya penyempurnaannya.

Ada banyak unsur dalam Misa kita yang bisa digarap. Pertama-tama harus dilihat dalam konteks dinamika perjalanan seluruh ritual Misa itu. Misa harus dilihat secara utuh, jangan dipikirkan ritual yang tanpa kaitan dengan konteks keseluruhan Misa. Lalu setiap unsur yang perlu diubah itu diselidiki dan diuji.


------------------
Moderator
Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concillium) no.38 menyatakan Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa.

Tapi sampai seberapa jauhkah ruang itu? Untuk membantu Gereja menginterpretasikan ini, Vatikan menerbitkan beberapa instruksi tentang pelaksanaan Konstitusi Liturgi Suci ini. Instruksi Ke-IV yang berjudul Liturgi Romawi dan Inkulturasi menekankan  perlunya kebijaksanaan Konferensi Waligereja yang memeriksa tiap-tiap kasus dengan saksama.

Kebijaksanaan Konferensi Waligereja ini sangat penting karena 3 unsur budaya yaitu nilai-nilai, institusi dan pola budaya hanya dipahami oleh pelaku kebudayaan setempat, supaya budaya yang ingin diinkulturasikan tidak hanya akulturasi yaitu sebagai tempelan, tapi sebagai Allah yang sungguh menjelma dalam Kristus di dalam Ekaristi yang kita rayakan.

Rm. Antonius Marius Tangi dari STFK Ledalero-Maumere menulis dalam Majalah Liturgi tahun 2005: �Misteri Ekaristi, tidak cukup hanya mengalaminya dengan indra, tetapi meresapinya dalam kedalaman hati dan budi serta jiwa setiap umat manusia. Semoga.�

No comments:

Post a Comment

Tags