Latest News

Tuesday, June 6, 2017

Menyerahkan Asa pada Allah yang Hidup

Ada sebuah hutan di Jepang yang bernama Aokigahara. Arti harafiahnya adalah �Lautan pohon� karena lebatnya. Namun hutan ini memiliki alias yang kurang menyenangkan, yaitu �hutan bunuh diri� karena tiap tahunnya ada paling tidak 100 kasus bunuh diri terjadi di sana. Di Jepang bunuh diri adalah suatu tindakan untuk menyelamatkan nama baik yang hilang.  Nama baik adalah harta terbesar orang Jepang. Tidak disangkal bahwa setiap orang di dunia ini yang kehilangan sesuatu yang berharga akan merasa lebih baik bunuh diri.  Di Indonesia, tingkat bunuh diri makin hari makin meningkat. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka bunuh diri di Indonesia pada 2010 adalah 1,8 per 100 ribu atau terjadi lima ribu kasus per tahun. Pada 2012, angka tersebut meningkat menjadi 4,3 per 100 ribu atau 10 ribu kasus bunuh diri per tahun.

Sara, dalam bacaan pertama, ingin membunuh dirinya karena merasa putus asa. Ia telah menikahi 7 orang jejaka yang meninggal sebelum Sara sempat bersetubuh dengan mereka. Namun, Sara mengurungkan niat itu dan menggantinya dengan doa agar ia mati. Terbalik dengan di Jepang, bunuh diri di mata orang Yahudi bukanlah suatu kehormatan, malahan nista bagi yang ditinggalkan. Mengapa demikian? Yesus memberikan jawaban ini di dalam Injil: �Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.� Bila Allah adalah Allah orang mati, maka jelas kita harus mati sebelum bertemu dengan Allah. Tapi Allah kita adalah Allah orang hidup. Ia menginginkan semua orang hidup. Maka bila ketika kesusahan hidup terasa berat, ketika tidak ada lagi yang rasanya dapat dipertahankan, dan rasanya kematian lebih baik daripada kehidupan, maka berdoalah seperti Tobit berdoa: �Ya Tuhan, suruhlah supaya aku lepas dari susah ini, biarlah aku lenyap menuju tempat abadi; janganlah wajah-Mu Kaupalingkan dari padaku, ya Tuhan. Sebab lebih bergunalah mati saja dari pada melihat banyak susah dalam hidupku.�

Dahulu Gereja Katolik sangat mengecam bunuh diri sampai pada level tidak akan memakamkan umatnya yang bunuh diri secara Katolik. Dalam perkembangan jaman, Gereja menyadari bahwa gejala ini tidak hanya disebabkan oleh karena kurangnya iman, melainkan juga karena faktor-faktor lainnya termasuk biologis dan psikologis. Kini pandangan Gereja lebih bersifat kasih, di mana Gereja terus mendoakan arwah-arwah akibat bunuh diri, namun tetap mengecam tindakan itu sendiri termasuk eutanasia. Gereja tetap memandang bahwa tindakan bunuh diri adalah berlawanan dengan tindakan kodrati mempertahankan kehidupan, melanggar cinta kasih sejati kepada diri sendiri dan kepada sesama, serta bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup, kepada siapa kita berhutang kasih. Mari kita hidup bagi Yesus yang telah mati bagi kita.



----------------------------------
Rabu Biasa, 7 Juni 2017
Bacaan 1 : Tob 3:1-11a, 16-17a
Injil : Mrk 12:18-27
 

No comments:

Post a Comment

Tags